7 Fakta Sinematek Indonesia: Kuburan Bagi Film Klasik Yang Sebenarnya Belum Mati

disinilah film Indonesia diarsipkan. kondisinya sekarang seperti sedang dalam perbaikan tak berujung.

Aga
7 min readOct 14, 2020
pintu masuk gudang seluloid Sinematek Indonesia. photo by Andjara

Perfilman Indonesia pernah besar di masa lalu. Sekitar awal dekade 1970-an hingga awal tahun 1990-an, industri perfilman Indonesia sempat mengalami fase naik dan turun layaknya roller-coaster di sebuah wahana permainan yang banyak digemari orang-orang. Kita tahu, beberapa ada yang sangat menikmati wahana tersebut — namun ada juga yang tidak menghiraukannya.

Misbach Yusa Biran, seorang mantan sutradara kondang dan penulis naskah film di tahun 1970-an, yang juga suami dari Nani Wijaya, merupakan satu dari sekian juta orang yang menikmati roller-coaster tersebut. Bukan hanya menjadi penikmat; almarhum bahkan mengabdikan separuh hidupnya untuk melakukan pengarsipan terhadap segala jenis film yang bisa ia temukan di jaman itu — yang kemudian disimpan di Sinematek Indonesia.

Saat ini, Sinematek Indonesia dapat dikunjungi oleh masyarakat umum layaknya sebuah museum. Namun, museum yang satu ini tampaknya sedikit berbeda jika dibandingkan dengan museum lain. Tidak ada palang petunjuk, bangunannya yang tua, dan perawatannya yang seperti kekurangan dana. Sepertinya, pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab kurang perhatian dengan lembaga ini.

Akhlis Suryapati (ketua SI menjabat) saat diwawancarai oleh tim Andjara mengenai andil pemerintah terhadap Sinematek Indonesia mengatakan;

saya berkomunikasi banyak dengan pemerintah, baik setelah maupun sekarang menjadi kepala Sinematek. berkomunikasi hal penting, bahkan beberapa kali mempunyai program mendirikan museum lah, mendirikan arsip lah, dan sebagainya tetapi sampai hari ini paling tidak masih wacana terus.

Sebagai sebuah lembaga pengarsipan film yang menyimpan karya-karya intelektual dan bukti-bukti sejarah, seharusnya Sinematek Indonesia dapat berkembang lebih dari saat ini. Menurut Misbach Yusa Biran, lembaga ini seharusnya minimal dapat menjalankan dua fungsi utamanya — fungsi apresiasi dan fungsi edukasi perfilman Indonesia kepada publik.

Berikut merupakan 7 fakta yang telah dikumpulkan oleh tim Andjara dalam penelitian mengenai Sinematek Indonesia;

1. Inisiasi Gubernur Ali Sadikin dan Misbach Yusa Biran tahun 1975

Pada awal 1970-an, dengan bermodalkan koneksi dan sejumlah uang yang disisihkan untuk hobi, Misbach Yusa Biran mengatakan bahwa beliau mulai mengumpulkan segala macam bentuk hasil produksi film dari banyak pengusaha. Tujuannya? untuk diarsipkan.

Beliau bahkan menyempatkan untuk terbang ke Belanda demi melakukan studi banding dengan pengarsipan film disana. Berkat kegigihannya, Gubernur Ali Sadikin yang terkenal mendukung pelestarian budaya meliriknya dan menawarkan sebuah proyek untuk menjadikan Sinematek Indonesia sebagai lembaga yang legal dan layak bagi para seniman film.

Maka pada 1975, berdirilah Sinematek Indonesia. Gedung yang dipakai dinamakan gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail yang terletak di kawasan Kuningan, Jakarta. Di gedung tersebut tidak hanya untuk Sinematek Indonesia, tapi ada juga organisasi-organisasi lain seperti Parfi, PPFI, GBBSI, dan organisasi lain di bidang film.

Faktanya, gedung tersebut diberikan oleh pemda DKI Jakarta kepada Sinematek Indonesia. Pemda juga sempat memberikan bantuan finansial tiap bulannya untuk menopang operasional Sinematek Indonesia. Selepas Ali Sadikin mangkat dari jabatannya, Sinematek Indonesia harus merangkak untuk mendapat sumber pendanaan lainnya.

Saat itu, Departemen Penerangan yang membawahi perfilman Indonesia sempat memberikan bantuan selama beberapa tahun — dengan jumlah yang sangat minim. Alhasil, hingga Misbach Yusa Biran mangkat pada awal tahun 2000-an, tidak ada kemajuan yang benar-benar spesifik.

Ini mendukung pernyataan bahwa Sinematek Indonesia tidak pernah berada di bawah pemda DKI maupun pemerintah pusat. Namun, Misbach Yusa Biran memang sempat dibantu oleh Ali Sadikin dan Deppen selama masa kepemimpinannya.

2. Gudang Seluloid dan 800+ Koleksinya

Satu hal yang paling unik dari Sinematek Indonesia adalah jumlah koleksi seluloidnya yang besar. Bayangkan saja, didalam sebuah basement sedalam kurang lebih 10 meter, terdapat ratusan tumpuk seluloid film-film klasik Indonesia. Film terakhir yang masih diproduksi dalam bentuk seluloid dan tersimpan disini adalah The Raid (2011).

Seluloid merupakan bahan dari gulungan film yang digunakan untuk media penyimpanannya. Film dengan bahan seluloid memiliki kualitas paling tinggi jika dibandingkan dengan film di penyimpanan digital. Namun karena perawatannya yang sulit dan harganya yang mahal, seluloid tidak lagi digunakan secara masal.

seluloid. photo by Andjara

Berdasarkan data dari pihak gudang, Sinematek Indonesia berhasil menyimpan lebih dari 800 judul film lengkap dengan gulungan seluloidnya. Seluloid ini kebanyakan merupakan titipan dari rumah-rumah produksi yang tidak memiliki fasilitas untuk penyimpanan seluloid. Agar tidak mengalami kerusakan akibat asam, seluloid harus disimpan di tempat yang dingin dan kering — seperti di gudang milik Sinematek Indonesia.

3. Sinematek Merupakan Lembaga Swasta

Selama ini, cerita yang tersebar di masyarakat adalah pemerintah yang kurang menunjukkan perhatiaannya kepada Sinematek Indonesia. Padahal, sebagai salah satu aset kebudayaan, Sinematek Indonesia dan koleksi-koleksinya menjadi tanggung jawab pemerintah juga.

Akhlis Suryapati kemudian menjelaskan, bahwa selama ini yang membuat Sinematek Indonesia tidak mendapat bantuan langsung dari pemerintah adalah karena statusnya yang berdiri dibawah yayasan. Yayasan tersebut adalah YPPHUI, sebuah lembaga non-pemerintah yagn dibentuk tahun 1995 untuk membawahi Sinematek Indonesia dan lembaga lainnya.

Pemerintah dapat memberikan bantuan melalui proyek-proyek restorasi atau pameran-pameran, namun tidak dengan bantuan langsung berupa dana. Sebaliknya, status swasta yang dimiliki oleh Sinematek Indonesia membuat pemerintah tidak dapat mengintervensi atau mencampuri urusan kurasi yang dilakukan oleh pihak Sinematek Indonesia terhadap koleksi-koleksinya.

4. Sempat Menjadi Yang Pertama di Asia Tenggara

Pembangunan Sinematek Indonesia mengundang perhatian dari negara-negara lain, khususnya yang ada di Asia Tenggara. Bahkan setelah dua tahun berdiri, Sinematek Indonesia berhasil diundang untuk bergabung dengan FIAF di Perancis sebagai anggota tidak tetap.

Di Asia Tenggara yang notabene merupakan negara-negara yang belum lama merdeka, pembangunan lembaga pengarsipan film dinilai sebagai sebuah langkah bagus untuk membangun peradaban. Namun selang beberapa tahun berdiri, tidak ada perkembangan signifikan dari Sinematek Indonesia.

Menurut David Hanan, Vietnam dengan lembaga arsip filmnya lebih sejahtera karena mendapat banyak bantuan dan pendanaan dari pemerintahnya. Padahal, lembaga arsip filmnya berdiri pada tahun 1979, empat tahun lebih muda dari Sinematek Indonesia.

Kondisinya kian menurun, hingga bahkan Sinematek diputuskan keanggotaannya pada tahun 2000-an oleh FIAF karena tidak mampu membayar biaya iuran tahunan. Sampai saat ini, status pencabutan tersebut masih berlaku.

5. Gedung Saat Ini Adalah Gedung Kedua

Sinematek Indonesia terletak di sebuah gedung lawas berlantai 6 di kawasan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta. Gedungnya yang bernama Yayasan Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail merupakan lembaga induk yang menaungi Sinematek Indonesia dan koleksi-koleksinya.

Namun siapa sangka bahwa dulu Sinematek Indonesia tidak berlokasi disini saat pertama kali didirikan?

Dulu Sinematek Indonesia berdiri beberapa blok setelah lokasinya sekarang — dengan lahan yang jauh lebih luas dan gedung yang lebih bagus. Berdasarkan keterangan dari Akhlis Suryapati, pada tahun 1995 Sinematek Indonesia terpaksa dipindahkan ke gedung barunya oleh pemda DKI atas pertimbangan pengembangan tata kota.

Di gedung baru ini ada beberapa kelebihan, seperti; gudang yang dapat dibangun sesuai kebutuhan suhu, keberadaan gedung theater, dan beberapa lantai yang dapat disewakan. Akhirnya, yayasan mencoba untuk memutar pendanaan bagi operasional Sinematek Indonesia dari biaya sewa yang didapat dari sewa gedung dan ruang theater tersebut.

6. Kondisinya Jalan di Tempat

Pihak Sinematek Indonesia sering kali menyatakan bahwa lembaga ini dalam kondisi yang baik-baik saja. Segala pemberitaan di media dan simpatisan hanya citra dari luar saja dan tidak dapat membuktikan apapun. Sinematek Indonesia memang masih bertahan sampai sekarang.

Namun, bukan berarti Sinematek Indonesia berkembang lebih sejahtera.

Misbach Yusa Biran hampir dalam setiap laporan tahunannya menuliskan bahwa Sinematek Indonesia perlu bernaung di bawah lembaga lain untuk memastikan pendanaan bukan menjadi masalah utama. Hafiz Rancajale dalam acara Sindrom Cuka menjelaskan bahwa pihak Sinematek Indonesia sendiri pernah menolak bantuan dari pihak eksternal untuk melakukan audit koleksi-koleksinya.

Perumpamaan dari MYB tentang kondisi Sinematek Indonesia adalah bagai seorang manusia yang sedang dalam kondisi koma.

7. Minim Kaderisasi, Tenggelam Dari Permukaan

Saat berkunjung ke lantai basement untuk menuju gudang seluloid, tim Andjara bertemu dengan Firdaus, penanggung jawab bagian seluloid di Sinematek Indonesia. Beliau mengaku sudah bekerja disana selama 23 tahun. Dulu, ada sekitar tujuh orang termasuk dirinya yang bertugas disana. Sekarang ia sendirian.

Firdaus mengakui bahwa saat ini dengan tenaganya sendiri, ia sudah sangat kewalahan menangani perawatan ratusan gulung seluloid-seluloid tersebut. Pasalnya, seluloid harus sering dikeluarkan untuk dibersihkan. Prosesnya pun terbilang membutuhkan banyak tenaga dan pemahaman mendalam tentang kurasi dan arsip, tidak sembarangan.

Namun tidak ada satupun kader yang dirasa dapat meneruskan pengabdian beliau. Cerita Firdaus seorang diri sudah dapat menggambarkan bagaimana Sinematek Indonesia dulu di jaman Misbach Yusa Biran dan kepeduliannya terhadap koleksi seluloid, berbanding jauh dengan saat ini dimana bantuan yang tersisa hanyalah Firdaus dan beberapa botol kimia TC pembersih seluloid.

Misbach Yusa Biran juga sering menulis jurnal yang menggambarkan dengan gamblang betapa pentingnya pengarsipan bagi identitas bangsa, dalam hal ini perfilman Indonesia dan sejarahnya. Ia memberikan penggambaran tersebut agar diluar sana orang-orang akan berpikir bahwa masuk akal menganggap pekerjaan pengarsipan sebagai profesi yang penting dan layak untuk dikerjakan.

Namun perjuangannya itu tidak (atau belum) dilanjutkan lagi.

Menurut sejarah, Sinematek Indonesia berdiri untuk dijadikan wadah bagi tiap generasi dalam menyimpan karya seni filmnya agar dapat dinikmati oleh generasi mendatang hingga ratusan tahun lagi. Faktanya, kerumitan masalah internal dan eksternal membuat sebagian besar pihak terganggu dan tidak fokus kepada visi tersebut.

Dalam pandangan netral, tentu saja wajar jika publik menganggap kondisi Sinematek Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Disisi lain, dunia pengarsipan film memang bukan dunia yang penuh gemerlap dan karpet merah seperti festival film.

Namun, layak atau tidaknya sebuah kondisi dianggap tidak baik-baik saja tentu dapat dilihat dari seberapa besar nilai yang ada dalam permasalahan tersebut. Kata kuncinya ada tiga — pengarsipan, film, dan sejarah.

--

--

Aga

cinema freaks. communication and media amateur. writing because kind words cost nothing.